Tag Archives: Renungan

Cobaan terberat bagi ibu yang anaknya mondok adalah: Keteguhan Hati

Standar

Profil 2

Tulisan saya ini sebenarnya semi curhat. Tapi mengingat curhat sejenis ini terdahulu yakni saat harus melepas anak saya, mbak ninid kecil, diusia 7 tahun mondok ternyata memberi banyak pengertian dan juga saling menguatkan sesama ibu yang memilih pendidikan pesantren untuk anaknya maka saya posting.

Hanya satu harapan saya dalam menulis soal “memondokkan” anak yakni bermanfaat untuk sesama ibu. Amiin.

ANAKKU SAKIT

Saat hari sambangan minggu lalu kutemukan mbak ninid kecil dalam keadaan demam, matanya merah,  gusinya juga sangat merah dan batuk. Dihidungnya ada sedikit darah kering yg saya perkirakan ia mimisan. Tapi dia sangat ceria. Waktu kupeluk dengan sangat haru seraya bertanya:”mbak ninid sakit ya… Kita pulang ya sayang.. Izin dulu istirahat di rumah…” dia malah menjawab:”enggak umi aku nggak sakit… Kalau pulang nanti ngajinya ketinggalan….” 😢😢😢😢

Padahal pikiran emaknya ini sudah “horor banget”. Jangan2 demam berdarah atau tipes… Ya Alloh… Hati dan pikiran sudah ketakutan ndak karuan. Kok sampai begini dia gak sambat sakit.

Akhirnya kami izin pulang beberapa hari agar  mendapat perawatan medis secukupnya. Saya baga ke UGD hari itu mengingat harinya adalah minggu dimana dokter praktik tutup. Ternyata dari hasil lab alhamdulillah negatif DB maupun types. Hanya saja leukositnya tergolong rendah sehingga harus total istirahat, minum obat dan makan yg cukup. Dokter juga mengizinkan pulang tidak harus opname tapi dalam pengawasan jika terjadi mimisan yang lebih intens atau panasnya tak terkendali maka harus kembali ke rumah sakit.

Alhamdulillah di rumah si kecil sholihahku ini bisa makan dengan baik meski tidak banyak (memang dasarnya tidak suka makan) dan juga tidur nyenyak tiap habis minum obat. Hari ke tiga sudah tidak demam, matanya sudah jernih, tidak mimisan dan gusinya tidak  merah meradang lagi namun batuk belum sembuh tapi sudah berkurang jauh. Kulitnya juga tampak segar kembali.

REMUK REDAMNYA DUNIA BATINKU

Tiap malam selama empat hari sejak itu saya tak bisa tidur. Rebah disisinya dengan waspada penuh. Padahal tiap bangun tidur mbak ninid kecilku ini ceria bertanya ummi kok tidur disini..? Kadang dia bangun untuk minum air yg kusediakan dalam botol disebelah bantalnya. Atau karena ingin pipis sebab sangat banyak minum.

Memandang wajahnya hatiku rasa remuk redam. Perasaan bersalah sebagai seorang ibu kok tidak di rumah saja dia sehingga bisa kuawasi langsung tiap hari. Kenapa tidak saya boyongkan saja nggak usah mondok lagi. Sekolah dan ngaji di rumah saja toh juga bisa. Saya mengajar banyak anak orang lain mengaji kenapa tidak saya ajari sendiri anak saya…? Apakah saya ini ibuk yang baik… Dst. Berbagai pertanyaan tanpa jawaban berkecamuk di pikiranku.

Sesekali saya pindah ke kamar menemui suami dan berurai air mata saya curhat ingin mboyongkan saja anakku ini. Suamiku menasehati tentang sabar dan sebuah pertanyaan:”apakah hanya ummi yang anaknya mondok? Apakah ibunya teman2 ninid juga memboyong anaknya kalau sakit? Kalau orang lain (ibu2) bisa mengendalikan hati dan pikirannya apakah itu begitu sulit buat ummi….? Dulu kan ummi sudah mikir dan memutuskan soal mondok ini apakah hendak putus asa oleh hal ini…”.

Apakah itu bisa saya terima begitu saja? Tidak. Hatiku masih remuk redam… Melihat anak sakit ternyata lebih berat daripada menanggung rasa sakit itu sendiri. Saya percaya bahwa tiap ibu merasakan hal yang saya rasakan. Bahwa melihat anak sakit itu lebih sakit daripada saat diri kita sakit…. 😰

MENJERNIHKAN PIKIRAN DAN HATI

Sambil memandangi tubuh kecil anakku ini saya berusaha berfikir dengan jernih. Menjernihkan hati tentang tujuan awal kenapa dulu saya putuskan ia mondok, mengingat-ingat dengan baik bagaimana nasehat2 terbaik yang bisa saya jadikan pegangan. Selain mengenang sejarah ia mondok di usia sedini ini (ada di tulisan terdahulu dalam web ini) saya ingat kitab taklim , yang merupakan kitab pegangan umumnya santri, bahwa kesuksesan seorang pelajar berasal dari tiga pihak: kesungguhan santri itu sendiri, kesungguhan gurunya, dan kesungguhan orang tuanya. Anakku ini kesungguhan batinnya soal mondok tidak bisa saya ragukan, para pengasuhnya di pondok juga begitu sungguh2 terbukti ia ngajinya sudah sangat lancar meski belum sempurna, jadi pertanyaan berikutnya adalah apakah saya orang tuanya bersungguh-sungguh….?

Ini membuat saya makin trenyuh makin remuk redam.  Jadi yang layak dipertanyakan hanyalah saya…? Iya hanya saya… Tentang kesungguhan saya…

Tidak mudah mengendalikan air mata saat mengalami hal ini. Tidak mudah mengendalikan perasaan saat mengalami hal ini. Namun dalam menuju suatu tujuan apapun memang tak mungkin tanpa aral melintang. Untuk lulus menjadi pribadi yang teguh pada tujuan, tidak mudah patah arang, tidak mudah berbelok atau berhenti di jalan terjal pastilah tidak mudah.

Menjadi seorang ibu berarti memberinya yang terbaik. Dan memberi yang terbaik tidak selalu indah dan menyenangkan…  Bismillah semoga saya selalu menjadi seorang ibu yang tegar dalam menyayangi anak-anak saya dengan kebaikan sejati dan diridloi Alloh SWT. Amiin….

 

 

 

 

Memahami Kepemimpinan Kyai Bagi Warga NU: Kyai Makruf Amin, NU, MUI dan Pilkada DKI 2017

Standar

Profil 2

Ahok “kesleo lidah” lagi (?) setelah tafsir almaidah 51. Kali ini “kesleo lidah” memperkarakan serta kuasa hukumnya yang sangat tidak sopan terhadap Kyai Makruf Amin selaku ketua MUI yang berstatus saksi dalam persidangan kasus penistaan agama akibat “kesleo lidah” yang pertama.  Begitu banyak warga Nahdliyin marah baik tokoh2nya dan warganya  secara personal melalui akun medsos hingga release resmi organisasi dalam berbagai  tingkatan hingga berbagai badan otonom di lingkungan PBNU.  Ngeri kalau NU sudah marah. Pihak yang paling ngeri harusnya adalah tim Ahok.  Mengapa?  Ini ormas terbesar Bro…  Posisinya jelas tidak merugikan Ahok selama ini.  Pihak yang senang?  Kita semua  tahu siapa saja mereka dan seperti apa kelakuannya,  hehehe…

Pilkada DKI effect

Banyak yang mengatakan pilkada DKI ini pilkada rasa pilpres.  Bukan semata karena  Agus Yudhoyono,  salah satu kontestan,  adalah putra Mantan Presiden SBY namun juga efek yang ditimbulkan serta keterlibatan masyarakat begitu luas melampaui batas wilayah administratif provinsi DKI itu sendiri.

Pro-kontra terhadap para kontestan,  khususnya incumbent yakni Ahok, juga berlangsung dalam fluktuasi yang sulit diperkirakan dinamikanya.  Misalnya hingga menimbulkan gerakan 212 yang begitu masif dengan dipromotori kalangan islam garis keras memanfaatkan momentum fatwa MUI yang merespon “kesleo lidah” Ahok menyoal tasir alquran surat  Almaidah ayat 51. Bahkan buntut dari gerakan tersebut adalah saling intrik politik tiada habisnya khususnya ditujukan pada para pemimpin gerakannya yakni Habib Riziq Shihab di satu sisi dan Megawati Soekarno di sisi lainnya.

Namun bukan mereka yang hendak saya bahas disini melainkan Kyai Makruf Amin yang terseret pusaran arus dinamika  konflik politik kontestasi pilkada rasa pilpres ini.  Kyai Makruf adalah Ketua MUI yang sekaligus juga adalah Rois Aam PBNU yang dalam AD/ART berarti pimpinan tertinggi dari ormas terbesar di Indonesia ini. Kita semua mafhum bahwa fatwa MUI inilah yang dieksploitasi habis gerakan islam garis keras. Lhoh jadi yai makruf amin bagian dari gerakan tersebut dong?  Lhoh tapi kok sikap PBNU malah  tidak mempermasalahkan  terhadap figur kepemimpinan  non muslim Ahok?  Jadi warga NU itu gimana sich…?  Nah,  jika berfikir tanpa memahami budaya NU ya gitu itu hasilnya : bingung!.

Kepemimpinan Kyai: Personal ataukah institusional?

Kyai Makruf boleh jadi saksi dalam kapasitas sebagai ketua MUI.  Tapi jangan lupa beliau Rois Am PBNU yang artinya pemimpin tertinggi.  Warga NU secara umum sudah sangat menghayati budaya tawadhu’ yakni penghormatan serta kepatuhan terhadap Kiai.  Jangankan pada pimpinan tertinggi pada kiai kampung saja sikap tawadhu’ ini sungguh2 diterapkan.

Beberapa pihak  pendukung Ahok mencoba klarifikasi bahwa yang terjadi adalah dalam kapasitas kyai Makruf sebagai MUI bukan sebagai PBNU.  Nah,  penjelasan tersebut pastilah dari pihak yang tidak memahami budaya NU. Benar duduk si persidangan dalam kapasitas MUI namun kehormatan Kyai Amin dalam posisi apapun dan sedang duduk dimanapun adalah kehormatan pemimpin tertinggi NU sebagai organisasi. Begitu juga sebagai seorang Kyai beliau adalah panutan warga NU.  Termasuk jika kelak purna dari PBNU beliau juga tetap kehormatan bagi warga NU.  Lihatlah bagaimana warga NU mencintai Gus Dur selepas PBNU,  juga Kyai Hasyim Muzadi,  dan seterusnya.  Tidak ada pembedaan tegas posisi kepemimpinan institusiona maupun personal dalam tradisi NU.

Sikap tawadhu’ ini bukan hanya terjadi saat ini.  Sikap ini adalah ajaran yang bersumber dari kitab2 yang diajarkan secara turun temurun dari generasi ke generasi NU.  Bahkan dalam tradisi pesantren tradisional NU sikap iniadalah  doktrin.  Para santri rela mati untuk menjaga kehormatan Kyiainya.

Jika memahami ini maka pasti tidak heran dengan respon sikap yg muncul dari berbagai kalangan NU ini.  Juga pasti tidak akan klarifikasi soal posisi Kyai Makruf di MUI.

Pertanyaan berikutnya soal kok PBNU tidak ikut jadi pembela fatwa MUI dan tidak terlibat gerakan tersebut…?  Ini juga bagian dari tradisi NU soal pengambil posisi tawassuth.  Ada tradisi sikap tawassut yakni di tengah-tengah,   tasamuh yaknk toleran dan ta’adul atau adil berimbang.  Ada beragam suara dari kalangan kyai soal fatwa MUI tersebut bukan hanya tentang fatwanya melainkan juga tentang konteks masalahnya.  Karena itulah PBNU tampak mengambil sikap demikian sesuai tradisi sikap organisasi.  Dan kalangan  kyai NU, baik di PBNU struktural maupun non struktural,  sangat dewasa soal perbedaan pendapat. Jadi meskipun ada sementara kalangan Kyai yang berbeda dengan pendapat Kyai Makruf di MUI namun itu tidak mengurangi penghormatan dari kalangan Kyai tersebut terhadap Kyai Makruf selaku Rois Am PBNU.  Bahkan saya lihat beberapa tokoh besar di NU yang selama ini pro Ahok pun memposting kemarahan mereka terhadap sikap Ahok yg tidak menghormati Kyai Amin di persidangan tersebut.

Akhirnya jika ada pertanyaan apakah Ahok tidak akan dimaafkan warga NU? Apakah tidak dimaafkan oleh Kyai yang bersangkutan?   Itulah asyik dan hebatnya NU.  Pasti dimaafkan…  Berkaca kasus Gus Mus, Habib Quraisy Shihab, Kyai Said Aqil yang di hina netizen di medsos namun dengan begitu entengnya memaafkan,  mendoakan bahkan memberikan hadiah….   Subhanalloh indahnya akhlaq para kyiai panutan kami warga NU…

Fitnah Yang Menghidupkan Dan Fitnah Yang membunuh

Standar

Profil 2

Video Viral  chat yang ditudingkan bersumber dari seorang wanita cantik dan seorang pemimpin ormas islam membuat saya ingin menuliskan kembali renungan diri saya bertahun lalu saya merasa sangat terpuruk dalam situasi penuh fitnah. Tulisan ini tak hendak menghakimi siapapun sebab ini semacam bicara pada diri sendiri.  Jadi ini renungan pribadi.  Jika ada hal baiknya monggo diambil jika ada buruknya maafkan dan abaikan kelemahan serta kebodohan saya…

Apa itu fitnah?

Sebenarnya saya tidak ingin terjebak pada pembahasan definitif soal fitnah adalah bla bla bla…  Namun bolehlah sedikit kita ta’rif secara umum.  Kita mafhum secara awam bahwa fitnah adalah tuduhan tidak benar yang disangkakan atau ditudingkan pada seseorang yang mengakibatkan orang tersebut menyalami kerugian dalam berbagai jenis.  Namun sebenarnya  kalau kita menilik lebih jernih soal fitnah ini dalam pembahasan islam maka kita juga akan bertemu dengan petunjuk Alloh tentang fitnah yang perlu “mengernyitkan dahi” sejenak: innama amwalukum wa awladukum fitnah.  Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu adalah fitnah.  Nah loh..  Kalau harta okelah tapi kok anak-anak yg kita lahirkan juga fitnah…?  Maka fitnah disini berarti juga cobaan bukan…?  Bisa juga berarti amanah untuk bersikap benar sesuai tuntunan bukan…?  Kanapa ini saya sampaikan.  Agar bisa masuk ke alam logika berikutnya dari tulisan pendek ini.

Dua sisi fitnah: Korban Dan Pelaku

Sering kita mendengar bahwa fitnah itu lebih kejam dibanding pembunuhan. Mengapa demikian?  Sebab fitnah itu membunuh berkali-kali.  Sebaran fitnah itu bisa mengakibatkan beragam ekspresi dari banyak pihak / orang mulai dari level ringan seperti mencibir hingga level berat seperti beneran membunuh korban fitnah ini.  Karena itulah fitnah bisa membuat orang terbunuh berkali-kali: terbunuh nama baiknya,  terbunuh harga dirinya,  terbunuh kehormatan keluarga atau keturunannya hingga membahayakan keselamatan jiwa pada level terbunuh nyawanya… Nah,   Lebih kejam bukan? Sungguh lebih kejam dari sekedar terbunuh bagi seorang korban fitnah.

Namun tidak selalu korban fitnah terbunuh secara fisik kan?  Mari kita lihat dengan jernih dari sudut pandang lain.  Manakala seseorang tertimpa fitnah lalu kemudian ia menghadapi dengan tegar,  menjernihkan dengan jelas dan membuktikan dengan sungguh-sungguh atas kebenaran maka sesungguhnya fitnah itu bukan membunuh melainkan membuat hidupnya semakin hidup.  La yukallifullohu nafsan illa wus’aha, Alloh tidak membebani sesuatu melainkan sesuai kemampuan,  bukankah demikian? Banyak kisah sepanjang perjalanan  ummat dimana orang besar semakin besar saat terpapar fitnah namun juga ada orang besar dan “habis” karena fitnah.  Saya ingin mengambil contoh besar bayangkan fitnah yg ditanggung bunda Maryam yg suci  saat Hamil Isa Al Masih.  Jelas Bunda Maryam tidak berzinah namun bagaimana menjelaskannya pada manusia biasa di kala itu…? Dan Bunda Maryam hanya diam saja serta menunjuka bayi tersebut.  Lalu kita ke contoh yang agak kontekstual seorang pejabat yang tampak sangat religius secara fisik tertangkap tangan dalam OTT KPK RI berkata:”Saya tertimpa fitnah…  Ini cobaan besar buat saya sekeluarga… ” Begitulah manusia tertimpa fitnah dan manusia yang merasa tertimpa fitnah.  Fitnah tersebut harus dihadapi sesuai levelnya: fitnah isu/gosip ya tabayyun/klarifikasi, fitnah mengandung unsusr hukum ya harus pembuktian bersih dari sangkaan/tuduhan, fitnah beresiko pada keselamatan ya harus prioritas menghindari resiko tersebut,  fitnah pada integritas ya harus dibuktikan pada kinerja serta seiring waktu dalam perilaku serta bagaimana dengan fitnah yang pada level ambang batas rasionalitas kemanusiaan…?  Bergurulah pada Bunda Maryam: Diam dalam kesabaran serta tawakkal meminta Allohlah yang menjernihkan…    Ini level paling “mengerikan”….  Dalam artian membutuhkan keimanan super kuat. Dan banyak orang besar kita kenal dalam sejarah adalah orang-orang yang lolos karena integritasnya saat menghadapi “pembunuhan” bersumber fitnah.

Sekarang lebih kejam dibanding pembunuhan pada sisi pelaku.  Menurut saya disinilah konteks yang lebih penting.  Yakni Dosa!.  Maksudnya dosa yang harus ditanggung pelaku fitnah adalah dosa yang lebih kejam/lebih besar dari sekedar suatu pembunuhan.  Sebab pelaku fitnah berarti pelaku pembunuhan berkali kali.  Iya,  berkali kali sebanyak efek dari fitnah itu “membunuh” korban mulai dari membunuh nama baik,  harga diri,  harkat martabat hingga keselamatan nyawa korban beserta keluarganya.  Tuh,  kejam dan berat kan dosa yang harus ditanggung…?  Karena itu hati-hatilah jangan terlibat fitnah.  Oiya,  bagaimana yang terlibat…?  Misalnya hanya terlibat kasak kusuk…?  Sahabatku…  Begitulah fitnah bekerja.. Kasak kusuk itulah yang memperbesar dan memperlebar efek fitnah…  😰😰😰 ini baru fitnah-fitnah sekitaran  kita padahal Alloh SWT mengingatkan kelak ada fitnah besar yakni Fitnah Dajjal…  Semoga kita semua sekeluarga diselamatkan Alloh dari segala fitnah khususnya finah yang membawa pada segala jenis kekufuran.  Amiin…

Salam hangat penuh cinta

Mar’atul Makhmudah.  Ibu Rumahtangga di Kabupaten Malang.

 

 

 

 

Mengapa orang berkata padamu: Sudah sukses ya sekarang….

Standar

Profil 2

Kemarin via inbox seorang kawan lama dari masa remaja yang dulu sering mem-bully saya baik secara serius maupun secara guyon menyapa dengan ucapan selamat atas kesuksesan hidup. Entahlah mengapa dimatanya saya ini “enak buat dikerjain”. Tiga tahun kami tetap berteman meskipun menjengkelkan banget. Hehehehe..

Dalam banyak kesempatan saya juga bertemu kawan lama dan mereka berkomentar:”wah sudah sukses ya kamu sekarang… “. Atau:”Saya dengar dirimu sudah sukses …”. Terkadang juga:”beruntung sekali kamu sukses…”. Benarkah saya sukses..??  Saya justru tidak merasa demikian. Atau minimal jika pembicaraan itu lebih detil maka seringkali saya tidak sepakat dengan apa yang dia maksud dengan sukses.

MENGAPA INDIKATOR SUKSES BERKUTAT PADA CAPAIAN HARTA, PANGKAT, JABATAN, PEKERJAAN, DAN STATUS SOSIAL…?

Faktanya demikian. Saat orang berkata padamu “wah sudah sukses ya sekarang…” maka yang mereka sedang maksud dan sedang lihat adalah capaian hal hal diatas.  Mungkin karena hal itu yang paling mudah dilihat orang lain.  Mungkin juga karena umumnya itu adalah yang diinginkan banyak orang namun akan sangat menyedihkan jika itu adalah tujuan hidup dari seseorang.

Saya sendiri merasa bahwa banyak sekali episode kegagalan dalam hidup saya. Jika diurai dalam satu tulisan perbandingan maka bukan mustahil gagal itu tak lebih banyak dari berhasil pada apa yang saya tuju.  Episode kegagalan tersebut mungkin tak terdengar atau juga mungkin tak terlihat di mata mereka.  Atau juga mungkin sebenarnya tahu dan diam2 mereka mendoakan kebaikan bagi kita,hehehe…

Capaian atas harta,  pangkat, jabatan maupun status sosial bukanlah sesuatu yang tiba tiba didapat seseorang kecuali jika itu terkait warisan leluhurnya.  Disamping itu menurut saya capaian tersebut bukanlah indikasi mutlak dari suksesnya seseorang. Banyak orang yang terlihat sukses dengan indikator diatas namun sebenarnya menuai banyak kegagalan yang bukan kegagalan biasa melainkan kegagalan besar. Artinya banyak sisi yang kita mesti melihat dengan bijaksana.

MELIHAT DENGAN BIJAKSANA TENTANG SUKSES

Tidak ada orang yang mutlak sukses sebagaimana tidak ada orang yang mutlak gagal dalam hidupnya. Kita hanya perlu bijaksana untuk melihat bahwa setiap orang memiliki kegagalan dan juga memiliki kesuksesan. Bijaksana ini membuat hati kita damai baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Kita perlu menempatkan diri dalam posisi melihat orang lain secara baik.  Mata yang baik adalah mata yang memandang dengan keluhuran budi.

Sukses ini mari kita lihat di “medan perang”nya masing-masing. Seorang ibu tumah tangga tak akan tampak sukses jika kita bandingkan haryanya dengan seorang direktris kaya raya bergaji puluhan juta.  Namun coba juga dibalik bahwa seorang direktris ini tak lebih sukses mendedikasikan penuh waktunya untuk keluarganya dimana yang paling terbatas di dunia ini adalah waktu. Semua orang memiliki sumberdaya waktu yang sama dalam satu hari yakni 24 jam. Seorang guru ngaji mungkin tampak tak sukses jika kita bandingkan hartanya sebagai guru ngaji dengan hartanya seorang profesor. Jika jika dilihat lebih adil bagaimana murid-murid mereka masing masin on progress sebagai manusia yang berguna bagi sesama maka apakah si guru ngaji adalah orang yang gagal…?

Indikator yang baik disusun dari kategori yang relevan. Demikianlah secara ilmiah juga para peneliti membuat indikator secara relevan untuk menjadi ilmiah.  Jika indikator tidak relevan maka itu mirip dengan kita percaya pada “survey pesanan” untuk memblow up seorang calon atau kontestan pilkada dimana indikator tidak relevan itu sebenarnya menghasilkan hasil survey yang cacat metodologi dan otomatis cacat hasil.

Kalau secara ilmiah saja pemyusunan indikator harus relevan mengapa kita harus membebani kesuksesan orang selalu dengan indikator harta pangkat jabatan status…?  Kata pramudya ananta beraikaplah adil sejak dalam pikiran.

Mungkin demikianlah sebaiknya kita melihat terhadap orang lain.  Yakni bahwa tak ada orang mutlak sukses pun tak ada orang mutlak gagal.  Di medan juangnya masing masing merrka menoreh sukses.

ORANG SUKSES ADALAH ORANG YANG MENGELOLA KEGAGALAN

Sekarang melihat kedalam atau bahasa kerennya introspeksi. Karena tak ada yg mutlak sukses maka tiap orang menoreh episode kegagalan.  Bahkan banyak kegagalan.

Banyak kisah sorang pengusaha sukses seperti om bob sadino mendahului kegagalan menerpanya namun ia tetap bangkit berusaha.  Banyak kisah seorang penemu harus ratusan kali gagal hingga menemukan formula terbaik yang dimanfaatkan secara luas.  Thomas alfa edison ratusan kali gagal sebelum akhirnya lampu pijar menerangi malam kita hingga hari ini.

Maka apalah orang biasa seperti diri kita ini…  Kegagalan adalah hal biasa.  Namun orang sukses adalah orang yang mengelola kegagalan. Alhamdulillah bahwa kegagalan pada hakekatnya menguatkan jiwa kita dan rasa tawakkal kita pada Alloh.  Dan kesuksesan pada hakekatnya untuk memperbesar rasa syukur kita pada Alloh SWT.

Tulungagung, 13 oktober 2016.

Hormat saya,

Maratul Makhmudah

 

Militansi Cinta Kucing Kampung

Standar

12548963_952585768123408_4665429549717036557_n

Saya bukan pecinta kucing namun juga bukan pembenci kucing. Tapi kucing-kucing ini selalu di depan rumah saya. Pada awalnya kucing-kucing kampung ini secara rutin dikasih kerupuk jatah sarapan pagi Mbak Ninid  kecil. Mbak Ninid kecil memang sangat menyayangi mereka meskipun terkadang tampak “bereksperimen” terhadap mereka. Mbak Ninid kecil yang sewaktu itu masih sekolah tingkat  TK di TK BSS (Brawijaya Smart School) ini meyakinkan guru dan teman-temannya bahwa makanan kucing bukanlah ikan pindang melainkan krupuk, permen, kue-kue yang enak dan daging ayam. Lah ya memang Mbak Ninid tidak salah sebab dalam pengetahuannya kucing-kucing ini doyan makanan yang disebutkan oleh Mbak  Ninid dan belum pernah kucing ini makan ikan pindang dari kami sebab Kak Nay benci ikan pindang. Saya menyesuaikan dengan hampir tidak pernah ada ikan pindang dalam menu kami.

Kucing-kucing ini selalu di depan rumah. Entah dari mana asalnya, awalnya hanya ada satu dan sekarang sudah ada sekitar lima ekor. Seringkali mereka berusaha masuk rumah tiap ada yang membuka pintu rumah kami meskipun sebentar saja. Mereka sudah mengintai depan pintu dan syuuuut langsung masuk rumah saat pintu dibuka. Militan sekali mereka mengintai dan menunggu pintu kami dibuka karena hendak keluar rumah. Bahkan pada suatu hari mereka berusaha masuk dari celah bawah pintu rumah. Cakar mereka berusaha menggapai-gapai dan akhirnya berhasil menarik keset keluar rumah. Rupanya memang keset itu tujuan mereka. Mereka jadikan alas tidur depan pintu.

Kucing-kucing ini selalu di depan rumah. Beberapa tetangga yang lain juga ada yang care sama mereka. Cukup diteriakin “Pus…Pus…!” lalu makanan ditaruh di tanah dan mereka para kucing-kucing ini akan berhamburan mengejar yang neriakin mereka ini. Namun tetap saja setelah puas makan mereka ini kembali di depan pintu rumah saya. Duduk manis terkadang menyeringai licik penuh makna waspada menunggu pintu di buka.  Pernah saya bilang:”Pus, Bu Bambang kan sayang sama kalian kenapa gak jaga pintu rumah Bu Bambang aja sich…?”. Mereka menjawab dengan sangat tegas:”Meong… meong… meong…”.

Kucing-kucing ini selalu di depan rumah. Seringkali saat pulang kantor, mobilku baru masuk gang saja kucing-kucing ini berhamburan mengejarku. Dan saat turun dari mobil mereka sudah mengerubuti kakiku seraya menggosok-gosokkan kepala mereka di kakiku. Geli dan risih sebenarnya namun belakangan ini saya jadi ingat respon Mbak Ninid kecil yang saat ini sudah mondok (Mulai kelas satu SD pertengahan tahun 2015) terhadap ulah kucing-kucing seperti ini. Ia akan menggendong salah satunya lalu mulai duduk depan rumah. Kucing-kucing itu kemudian naik di pangkuannya. Dan Mbak Ninid kecil  ngobrol sama mereka seraya tertawa gembira seolah kucing-kucing ini bercakap-cakap dengannya. Duh dasar anak kecil pikirku.

Kucing-kucing ini selalu di depan rumah. Yah, belakangan ini saya mulai membiarkan mereka menggosok-gosokkan kepalanya di kakiku sebab saya rindu Mbak Ninid yang sedang mondok. Membayangkan ia yang menikmati situasi ini.  Sesekali saya marahi mereka jika masuk rumah namun saya mulai bisa memahami sikap dan respon Mbak Ninid kecil terhadap mereka. Saya mulai mengerti suara mengeong itu beda-beda intonasinya… Terkadang saya mulai membaca beragam makna ngeong itu melalui mata mereka. Mata mereka berbicara banyak hal: saat mengedip perlahan dan mengeong perlahan saya merasa mereka berkata aku sayang kamu…   Di saat yang lain mereka mengajak bermain dengan membawa daun-daun kering di kaki mereka kayak main bola aja. Menjengkelkan ketika mereka mulai mengasah kuku mereka dengan mencakar-cakar ban mobil. Lebih menjengkalkan lagi jika mereka mulai naik atap mobil melalui tembok rumah dan membuat guratan-guratan bekas cakar mereka di cat body mobil namun saat mau kumarahi mata mereka berkata:”ini asyik.. lihat mobilmu jadi artistik…” Duh!!

Kucing-kucing ini selalu di depan rumah. Ada tetangga (gang sebelah) memelihara kucing luar negeri alias impor. Konon dia beli seharga 4-5 Juta. Namun beberpa waktu kemudian kucing itu hamil dan melahirkan. Tentu saja kucing bayi itu berwajah setengan kampung sebab emak kucing itu “menikah” dengan kucing kampung…  Tak kusangka ternyata Tuan kucing itu membuang si bayi kucing dengan alasan jenis begini tidak berkelas dan  merusak garis keturunan saja….  astaga, saya teringat jomblo2 yang ditolak  calon mertua karena kurang ini dan itu. Di Dunia perkucingan pun ada menjaga garis murni keturunan perkucingan ras tertentu.

Kucing-kucing ini selalu di depan rumah. Mereka ini kucing, yakni salah satu jenis binatang. Tentu saja mereka tak punya konsep mencuri. Jika dalam suatu kesempatan mereka berhasil membobol secara cerdik pertahanan pintu rumah kami maka itulah kecerdikan. Dalam suatu kesempatan kecil mereka ambil dengan sangat cermat dan tepat apalagi jika tidak ketahuan sampai mereka kenyang dan mulai mengeong minta dibukakan pintu.  Tentu pada awalnya aku sebut itu mencuri. “Dasar kucing pencuri!!”. Belakang aku mulai berfikir benarkah mereka pencuri? tidak ada hukum dalam dunia perkucingan maka bagaimana mungkin ada pencurian. Pastinya hanya berlaku hukum rezeki. Jadi jika mereka mengambil makanan pastilah itu karena makanan itu rezeki mereka. Yah, kucing dan dunia perkucingan mereka ini mendidik saya tentang memiliki terhadap makanan-makanan tersebut.

Kucing-kucing ini selalu di depan  rumah. Tak peduli berapakalipun saya usir mereka, tetap saja hanya bergeser sejenak untuk kemudian kembali ambil posisi manis di depan pintu rumah. Sepertinya itu ungkapan cinta mereka pada kami seisi rumah secara militan. Seringkali mereka menyayangi saya dengan cara yang paling mereka suka yakni melarang saya memasak. Terutama jika sudah terlanjur belanja daging ayam.  Mata mereka seolah berkata;”Sudah gak usah repot…  Mentahan aja sampiyan ndak usah masak….” Dan begitulah mereka, sampai hari ini mereka adalah alasan utama untuk banyak  kejadian seperti hari inihari ini (sering terulang sich!): Saya gak jadi memasak….